MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA
MADRASAH IBTIDAIYAH MELALUI STRATEGI
THINK-TALK-WRITE BERBASIS MODUL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak tahun 1980-an paradigma baru dalam pembelajaran matematika sudah dimulai dibeberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Australia dan Afrika Selatan. Perubahan dalam paradigma tersebut yang mendasar adalah beralihnya pijakan yang mendasari pembelajaran matematika, yakni dari psikologi perilaku dan struktruralis ke arah psikologi kognitif dan konstruktivis-realistik. Perubahan ini antara lain dengan adanya perhatian terhadap aspek-aspek yang mempengaruhi keberhasilan dalam pembelajaran matematika seperti aspek budaya, bahasa dan gender. Menurut Begle (1989) bahasa dan kebudayaan merupakan variabel yang esensial dalam matematika. Bahkan Begle menyimpulkan bahwa variabel bahasa merupakan variabel potensial dalam mempelajari pemecahan masalah matematika.
Matematika merupakan bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Menurut Adele Leonhardy (The Liang Gie, 1999: 22), matematika tidak hanya suatu alat, matematika juga merupakan bahasa. Salah satu rahasia kekuatan matematika adalah perlambangan yang abstrak, yang merupakan suatu bahasa penuh dalam dirinya sendiri. Selanjutnya Lindquist (1996) menyatakan jika kita sepakat bahwa matematika merupakan suatu bahasa, maka mudah dipahami bahwa komunikasi merupakan esensi dari mengajar, belajar dan mengakses matematika. Pada sisi lain dalam pelaksanaan pembelajaran matematika kita menyadari jarang sekali siswa diminta untuk mengkomunikasikan ide-idenya.
Menurut Ebbut (Marsigit, 2007: 5) matematika adalah kegiatan problem solving. Salah satu implikasi dari pandangan ini adalah guru dituntut mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk memecahkan persoalan. Wahyudin (Helmaheri, 2004: 4) mengatakan bahwa pemecahan masalah bukan sekedar keterampilan untuk diajarkan dan digunakan dalam matematika tetapi juga merupakan keterampilan yang akan dibawa pada masalah-masalah keseharian siswa.
Pada Kurikulum 2006 kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dalam pembelajaran matematika mencakup: pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan pemecahan masalah. Ketiga aspek kecakapan atau kemahairan matematika tersebut dikembangkan sebagai hasil belajar dalam Kurikulum 2006.
Dari uraian diatas jelas bahwa kemampuan siswa dalam komunikasi dan pemecahan masalah matematika perlu mendapat perhatian untuk lebih dikembangkan. Kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika merupakan kemampuan yang diperlukan dalam belajar matematika dan sangat diperlukan dalam menghadapi masalah dalam kehidupan siswa.
Pendidikan matematika di Indonesia belum menampakan hasil yang diharapkan. Dari hasil studi TIMSS tahun 2003 untuk siswa kelas VIII, menempatkan siswa Indonesia pada urutan ke-34 dari 46 dengan nilai rata-rata untuk kemampuan matematika secara umum adalah 411. Prestasi siswa Indonesia ini berada dibawah siswa malaysia dan singapura. Siswa malaysia memperoleh nilai rata-rata 508 dan Singapura memperoleh nilai rata-rata 605. Skala matematika TIMSS-Benchmark Internasional menunjukkan bahwa siswa Indonesia berada pada peringkat bawah, Malaysia pada peringkat tengah, dan Singapura berada pada peringkat atas. Padahal jam pelajaran matematika di Indonesia 169 jam untuk kelas VIII lebih banyak dibanding Malaysia 120 jam dan Singapura 112 jam. Menurut Leung dan Puji (Fajar Shadiq: 2007: 2) data TIMSS menunujukan bahwa penekanan pembelajaran metematika di Indonesia lebih banyak pada penguasaan keterampilan dasar (basic skills), namun sedikit atau sama sekali tidak menekankan untuk penerapan matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari, berkomunikasi secara matematis dan bernalar secara matematis.
Menurut hasil penelitian Tim Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika di beberapa Sekolah Dasar di Indonesia mengungkapkan bahwa kesulitan siswa dalam belajar matematika yang paling menonjol adalah keterampilan berhitung yaitu 51%, penguasaan konsep dasar yaitu 50%, dan penyelesaian soal pemecahan masalah 49% (Tim PPPG Matematika, 2001: 18). Dilanjutkan pada tahun 2002 penelitian Pusat Pengembagan Penataran Guru Matematika mengungkapkan di beberapa wilayah Indonesia yang berbeda, sebagian besar siswa SD kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah dan menerjemahkan soal kehidupan sehari-hari ke model matematika (Tim PPPG matematika, 2002: 71). Dari data diatas menunjukan bahwa kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika siswa Indonesia masih rendah.
Rendahnya kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika juga terjadi pada siswa kelas V MIN Yogyakarta I. Dari hasil observasi dan wawancara dengan guru bidang studi diperoleh data bahwa sebagian besar siswa dapat menyelesaikan soal tetapi tidak mampu menjelaskan jawaban yang mereka berikan. Sebagian besar siswa hanya mampu mengerjakan soal yang sudah diberikan contoh penyelesaian, siswa hanya mengikuti langkah-langkah yang diberikan guru pada contoh soal. Siswa tidak dapat menjelas alasan dari setiap langkah yang merreka kerjakan. Proses pembelajaran yang terjadi juga masih satu arah yaitu guru sebagai pusat pembelajaran. Para siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal cerita. Mereka masih sulit memahami apa yang diketahui dan ditanya dari soal. Mereka hanya mengalikan atau membagi angka-angka yang ada dalam soal, tanpa tahu mengapa bisa dikalikan maupun dibagi. Hal ini terjadi karena kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah mereka masih rendah.
Rendahnya kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah pemecahan matematika, tidak lepas dari proses pembelajaran matematika. Kegiatan pembelajaran dipengaruhi oleh pandangan guru terhadap makna belajar. Menurut Masnur Muslich (2008: 51), makna dan hakikat belajar seringkali hanya diartikan sebagai penerimaan informasi dan sumber informasi (guru dan buku pelajaran). Akibatnya, guru masih memaknai kegiatan mengajar sebagai kegiatan memindahkan informasi dari guru atau buku kepada siswa. Proses mengajar lebih bernuansa memberi tahu daripada membimbing siswa menjadi tahu sehingga sekolah lebih berfungsi sebagai pusat pemberitahuan daripada sebagai pusat pengembangan potensi siswa. Perilaku guru yang selalu menjelaskan dan menjawab langsung pertanyaan siswa merupakan salah satu contoh tindakan yang menjadikan sekolah sebagai pusat pemberitahuan. Di samping itu, Drost (Moch. Masykur Ag, 2007: 6) menambahkan, kurikulum matematika hanya dapat diikuti oleh 30% siswanya. Kurikulum yang padat, menyebabkan pengajaran matematika di sekolah-sekolah cenderung didominasi oleh proses (transfer of knowledge) saja dan tidak memberikan kesempatan kepada siswanya untuk menentukan sendiri kearah mana ingin bereksplorasi dan menemukan pengetahuan yang bermakna bagi dirinya.
Pembelajaran matematika pada umumnya lebih banyak menggunakan rumus-rumus dan algoritma yang sudah baku. Hal ini menyebabkan siswa kurang kreatif dan cenderung pasif. Keadaan pembelajaran seperti ini menjadikan siswa tidak komunikatif dan tidak mempunyai keterampilan dalam mengembangkan diri siswa. Tujuan pembelajaran matematika pada Kurikulum 2006 adalah: (1) melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikian, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonsistensi, (2) mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba, (3) mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, (4) mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan. Mengamati tujuan pembelajaran matematika tersebut sudah sepantasnya pembelajaran yang berpusat kepada guru untuk dirubah ke arah pembelajaran yang berpusat kepada siswa. Pembelajaran maternatika yang kurang melibatkan siswa secara aktif akan menyebabkan siswa tidak dapat menggunakan kemampuan matematiknya secara optimal dalam menyelesaikan masalah matematika.
Salah satu pembelajaran yang dapat membawa siswa agar siap menghadapi era globalisasi dan dapat meningkatkan kualitas intelektual serta kehidupan yang lebih baik adalalah dengan pembelajaran matematika yang bermakna, siswa tidak hanya belajar untuk mengetahui sesuatu tetapi juga belajar memahami permasalahan yang ada. Tugas dan peran guru bukan lagi sebagai pemberi informasi (transfer of knowleage), tetapi sebagai pendorong siswa belajar (stimulation of learning) agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan melalui berbagai aktifitas seperti pemecahan masalah, penalaran dan berkomunikasi.
Kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika merupakan bagian dari kemampuan berfikir matematika tingkat tinggi. Agar kemampuan berfikir matematika tingkat tinggi berkembang, maka pembelajaran harus menjadi lingkungan dimana siswa dapat terlibat secara aktif dalam banyak kegiatan matematika yang bermanfaat. Pembelajaran matematika dengan strategi think-talk-write berbasis modul dalam kelompok kecil memberikan kesempatan kepada siswa untuk memulai belajar dengan memahami permasalahan terlebih dahulu, kemudian terlibat secara aktif dalam diskusi kelompok, dan akhirnya menuliskan dengan bahasa sendiri hasil belajar yang diperolehnya.
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan uraian diatas, untuk mengembangakan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika maka perlu memilih strategi pembelajaran yang mengaktifkan siswa dan tidak berpusat kepada guru. Strategi think-talk-write memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif dan guru hanya sebagai motivator dan fasilitator dalam kegiatan pembelajaran, sehingga kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika siswa berkembang.
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan diatas, maka masalah-masalah yang yang diidentifikasi sebagai berikut:
1. Penguasaan konsep dasar matematika siswa masih rendah.
2. Kemampuan siswa dalam pemecahan masalah masalah matematika masih rendah.
3. Kemampuan komunikasi matematika siswa siswa masih rendah.
4. Dalam pembelajaran matematika siswa cenderung pasif
5. Pembelajaran matematika masih berpusat pada guru.
6. Guru cenderung memilih metode pembelajaran konvensional dalam pembelajaran matematika.
C. Pembatasan Masalah
Permasalahan untuk penelitian ini dibatasi pada:
1. Kemampuan siswa dalam komunikasi dan pemecahan masalah matematika.
2. Strategi pembelajaran matematika untuk mengembangkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah yaitu strategi think-talk-write berbasis modul.
D. Rumusan Masalah
Agar terarahnya penelitian ini maka perlu dirumuskan permasalahan yaitu: Bagaimanakah proses dan hasil pengembangan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika siswa yang efektif melalui strategi think-talk-write berbasis modul?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika siswa yang belajar dalam kelompok kecil melaui strategi think-talk-write berbasis modul.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pemilihan strategi pembelajaran matematika di kelas, khususnya dalam usaha meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika siswa. Masukan-masukan itu diantaranya adalah:
1. Memberikan informasi tentang pengembangan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika siswa yang belajar melaui strategi think-talk-write berbasis modul.
2. Memberikan alternatif strategi pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran matematika untuk dikembangkan menjadi lebih baik dengan cara memperbaiki kelemahan dan kekurangannya dan mengoptimalkan hal-hal yang sudah baik.
G. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan
Asumsi yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika siswa madrasah ibtidaiyah melalui strategi think-talk-write adalah:
1. Guru mempunyai kemampuan untuk menerapkan strategi think-talk-write berbasis modul.
2. Strategi think-talk-write berbasis modul dapat mengembangkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika siswa madrasah ibtidaiyah.
Keterbatasan pengembangan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika siswa madrasah ibtidaiyah melalui strategi think-talk-write adalah:
1. Materi matematika yang dibahas hanya materi untuk kelas IV semester II.
2. Modul yang digunakan merupakan penunjang strategi pembelajaran think-talk-write.
H. Defenisi Istilah
Untuk menghindari terjadinya salah pengertian terhadap beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, berikut didefenisikan istilah-istilah tersebut:
1. Pengembangan adalah suatu proses menghasilkan sesuatu (dalam hal ini kemampuan komunikasi matematika siswa dan pemecahan masalah matematika siswa).
2. Kemampuan komunikasi matematika siswa adalah kemampuan siswa menyatakan soal cerita ke dalam bahasa atau simbol matematika dalam bentuk grafik dan/atau rumus aljabar dan sebaliknya
3. Pemecahan masalah matematika adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita dengan memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:
a. memahami masalah,
b. merencakan penyelesaian atau memilih strategi penyelesaian yang sesuai,
c. melaksanakan penyelesaian menggunakan strategi yang di rencanakan,
d. memeriksa kembali kebenaran jawaban yang diperoleh.
4. Strategi think-talk-write merupakan rangkaian pembelajaran yang terdiri dan tiga tahap yaitu:
a. THINK: siswa secara individual membaca,berfikir dan menuliskan hal-hal penting dari bahan pembelajaran yang disajikan di modul.
b. TALK: siswa rnengkomunikasikan hasil kegiatan membacanya pada tahap think melalui diskusi dalam kelompoknya yang terdiri 4-6 siswa.
c. WRITE: Siswa secara individual menulis hasil diskusi berdasarkan pemikiran dan bahasa masing-masing.
2 komentar:
Bu, saya minta sof copy dri TIM PPPG 2001:18. .
Trimakasih :)
Borgata Hotel Casino & Spa - Mapyro
Find reviews, hours, directions, 김천 출장안마 coupons and more for Borgata Hotel Casino 서산 출장샵 & Spa 제천 출장샵 in Atlantic City 부천 출장안마 - MGM Resorts World 포항 출장안마 Philadelphia.
Posting Komentar