Minggu, 11 Januari 2009

Refleksi Perkuliahan Terakhir II (Hakekat Matematika Sekolah)

Mungkin dua pertanyaan berikut muncul di benak kita: mengapa muncul istilah matematika sekolah? apa bedanya matematika dan matematika sekolah?. Matematika sebagai ilmu bersifat deduktif, untuk membuktikan suatu teorema dalam matematika sebagai ilmu diperlukan defenisi, aksioma dan teorema yang telah dibuktikan sebelumnya. Apakah mungkin kita mengajarkan siswa SD dengan cara pendekatan deduktif? Tentu saja jawabannya tidak mungkin. Misalnya untuk menunjukkan pada siswa SD perkalian bilangan negatif dengan bilangan negatif mengasilkan bilangan positif, tidak mungkin dengan menggunakan teorema-teorema dan aksioma yang ada pada bilangan real seperti yang dipelajari diperguruan tinggi. Karakteristik siswa SD yang masih berfikir konkrit, belum memungkinkan dapat menerima pendekatan deduktif dalam pembelajaran matematika. Mungkin ini hanya salah satu alasan mengapa muncul istilah matematika sekolah.
Hakekat matematika sekolah yang dijelaskan pak marsigit adalah matematika sebagai penelusuran pola dan hubungan; matematika sebagai investigasi; matematika sebagai problem solving; dan matematika sebagai komunikasi. Jika guru memahami hakekat matematika sekolah dan menerapkan dalam pembelajaran matematika maka diharapkan matematika akan muncul sebagai mata pelajaran yang disenangi. Siswa yang saat ini belajar matematika dalam suasana yang menyenangkan akan membawa persepsinya bahwa matematika itu asyik pada masyarakat, sehingga diharapkan, persepsi yang mengangap bahwa matematika adalah kumpulan rumus mati yang tidak berarti akan perlahan menghilang.
Ketika saya PPL di MIN Yogyakarta I, saya bertanya kepada beberapa siswa kelas V yang sedang berkumpul tentang mata pelajaran yang mereka senangi dan tidak mereka senangi. Siswa-siswa itu menjawab secara spontan bahwa matematika adalah pelajaran yang mereka senangi. Saat saya melakukan wawancara dengan kepala sekolah beliau mengatakan bahwa sekolah ini termasuk binaan PMRI. Setelah melakukan beberapa kali observasi pembelajaran, saya melihat guru-guru dalam pembelajaran matematika sudah bersifat terbuka terhadap matematika. Guru-guru di sana memberi kebebasan pada siswa dalam memecahkan suatu persoalan, mereka tidak kaku pada satu solusi saja. Benda-benda yang ada di kelas dimanfaatkan dalam pembelajaran matematika. Saat itu materi yang pelajari adalah pengukuran, benda-benda disekitar kelas seperti pintu, jendela, lemari, kursi, meja, papan tulis dan sebagainya dimanfaatkan dalam pembelajaran. Selain itu dalam pembelajaran anak-anak tidak di haruskan duduk manis di bangku, siswa diperbolehkan berdiskusi dengan temannya, bertanya kepada guru. Dikelas bawah guru mempunyai yel-yel untuk memotivasi siswa dalam belajar. Berdasarkan observasi pembelajarn yang saya lakukan, sangat wajar matematika menjadi mata pelajaran yang disenangi siswa.
Salah satu hakekat matematika sekolah adalah matematika sebagai penelusuran pola dan hubungan. Sebagai contoh untuk menjawab persoalan mengapa bilangan negatif dikalikan dengan bilangan negatif hasilnya bilangan positif dapat digunakan dengan pendekatan penelusuran pola bilangan. Hal ini lebih memungkin dapat diterima anak secara intuitif. Karena matematika sekolah adalah penelusuran pola dan hubungan maka dalam pembelajaran matematika guru sebaiknya memberi kesempatan kepada siswa dan memotivasi siswa untuk melakukan kegiatan penemuan, menyelidiki pola-pola untuk menemukan sendiri hubungan diantara pola-pola tersebut. Untuk itu guru harus kreatif mencari metode, strategi, tehnik dan pendekatan pembelajaran yang mendorong siswa memahami dan menemukan hubungan antara konsep yang satu dengan yang lain.
Matematika sekolah sebagai kreativitas , hal ini memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan rasa ingin tahu, keinginan menemukan struktur matematika, keinginan penanyakan sesuatu yang ada di pikirannya dan sebagainya. Untuk itu seorang guru harus bersifat terbuka terhadap pertanyaan yang diajukan siswa, guru harus memandang siswa sebagai anak yang telah membawa konsep matematika di pikirannya sebelum pembelajaran berlangsung.
Sadar atau tidak dalam kehidupan sehari-hari manusia banyak peristiwa yang berkaitan dengan matematika. Persoalan sederhana seperti kita membagi cake menjadi potongan yang lebih kecil adalah kegiatan bermatematika yang berkenaan dengan pecahan. Ketika anak menyadari ia mempunyai keluarga, teman juga mempunyai keluarga, anak sudah bermatematika yang berhubungan dengan relasi dan fungsi. Artinya seorang guru harus mempertimbangkan konsep-konsep matematika sehari-hari yang telah dibawa siswa saat pembelajaran matematika berlangsung.
Problem solving sudah lama perkenalkan sebagai pendekatan pembelajaran. Saat ini problem solving bukan hanya sebagai metode pembelajaran tapi juga kompetensi yang harus di capai siswa dalam belajar matematika. Matematika sekolah sebagai kegiatan problem solving memungkin siswa menjadi pemecah masalah matematika yang handal dikemudian hari. untuk mencari persolan yang dapat dijadikan sebagai masalah dalam pembelajaran dengan pendekatan problem solving tidaklah mudah tapi juga tidak sulit. Diperlukan pengalaman mengajar dan banyak membaca literatur untuk dapat mencari persolan yang dapat dijadikan masalah. Persoalan yang disajikan haruslah menarik perhatian siswa dan siswa harus mempunai bekal atau keterampilan dalam memecahkan persolan yang diberikan. Salah satu usaha untuk memotivasi siswa dalam memecahkan persoalan yang diberikan guru harus membuat persolan menjadi persoalan yang kontekstual, sehingga siswa termotivasi dan timbul rasa penasaran untuk memecahkan persoalan. Selain itu komunikasi yang interaktif antara siswa dan guru harus terjadi, artinya guru mampu memancing jawaban-jawaban siswa ketika mereka terbentur pada suatu masalah.
Mungkin selama ini kita menyadari matematika adalah alat untuk berkomunikasi. persepsi yang berkembang bahwa orang yang pintar matematika tidak banyak bicara dan susah untuk mengungkap apa yang ada dalam pikirannya, tidak sepenuhnya benar. Pembelajaran matematika yang tradisional memungkin siswa menjadi orang yang dapat mengerjakan soal-soal rutin tapi ketika ditanya mengapa melakukan prosedur tersebut mereka tidak dapat menjelaskan. Yang terpenting dalam pembelajaran matematika bukan siswa menguasai prosedur menyelesaikan soal tapi lebih penting lagi memahami apa yang mereka lakukan. Untuk itu guru harus mengupayakan agar siswa mampu mengkomunikasikan ide matematika, menghargai bahasa sehari-hari siswa dan meminta siswa untuk mengungkapkan matematika yang mereka pelajari dalam bahasa sehari-hari mereka. Untuk melatihkan berkomunikasi secara matematika sebaiknya siswa diminta untuk memberikan alasan dari prosedur yang dipilih siswa untuk menyelesaikan soal.

Refleksi Perkuliahan Terakhir I (Hakekat Siswa Belajar Matematika)

Siswa akan belajar jika mendapat motivasi. Persolannya bagaimana agar siswa termotivasi untuk belajar, bukan karena tuntutan orang tua dan guru. saya pernah mengajar(mengajar privat) seorang siswa yang saat itu kelas 3 SD dan berusia 7,5 tahun, siswa ini senang belajar sambil bermain. Biasanya permainan yang digunakan permainan sederhana yang hanya membutuhkan kertas dan pensil. Permainan yang digunakan berubah-ubah. Salah satunya permainannya adalah permainan tik-tak. Aturan permainannya: setiap ia mampu menjawab soal maka ia berhak membuat gambar orang tersenyum pada kotak disediakan tapi jika jawabannya salah maka saya yang mengambar orang menangis di kotak. Jika ia mampu membuat lima gambar secara berurutan baik mendatar, horizontal atau diagonal maka ia menang. Tapi suatu hari ketika saya datang siswa itu bertanya kepada saya. Ia bertanya, “ ibu boleh ngak teman-teman alya ikut belajar? Saya secara spontan menjawab boleh. Lalu ia mengeluarkan semua bonekanya dan menyusunnya di ruang tempat kami belajar. Dalam hati saya kaget dan merasa lucu, ternyata teman-temanya adalah bonekanya. Tapi saya tetap meneruskan pembelajaran matematika bersama boneka-boneka tersebut. Saya mencoba memanfaatkan boneka dan imajinasi siswa tersebut dalam pembelajaran. Saya minta ia megajar teman-temanya (boneka) dan ia dengan senang hati melakukan. Lalu setiap temanya(boneka) saya beri soal, dengan imajinasinya ia menjadi boneka yang ditanya dan menjawab soal yang saya ajukan. Ia belajar matematika tapi ia sendiri merasa tidak dibebani. Biasanya saya susah untuk mengakhiri pembelajarn karena ia sendiri masih asyik belajar sambil bermain. Jika saya tidak datang mengajar maka pada pertemuan berikut ia pasti bertanya kenapa tidak datang dengan nada kecewa.
Banyak hal yang saya petik dari peristiwa yang telah dipaparkan sebelumnya, diantaranya adalah: untuk dapat membawa anak kedunia kita maka kita harus terlebih dahulu memasuki dunianya; untuk memotivasi siswa dalam belajar maka kita harus memperhatikan keinginan siswa; fleksibel dalam menciptakan suasana belajar, jangan terlalu kaku dengan aturan belajar yang siswa harus duduk manis; manfaat imajinasi siswa dalam membangun konsep.
Permainan dapat memotivasi siswa dalam belajar. Permainan yang saya pilih untuk kelas yang siswanya banyak (20-40 orang) adalah permainan yang tidak memerlukan alat bantu yang sukar. Permainan yang sering saya pilih adalah permainan seven bom. Seven bom adalah permainan berhitung yang aturan jika mendapat giliran ada angka 7 dan kelipatan tujuh maka siswa tersebut harus mengatakan “bom”. Siswa yang salah diberi hukuman berupa soal matematika. Permainan ini juga dapat diterapkan untuk belajar kelipatan bilangan di SD.
Ide permainan dapat diperoleh dari literatur, game-game yang disukai anak, atau dari kuis-kuis yang ada di televisi. Saat populer kuis piramida di salah satu stasiun televisi indonesia, saya mencoba membawa kuis piramida dalam belajar matematika dan diberi nama piramida matematika. Kuis detak-detik dibawa kedalam pembelajaram matematika menjadi detak-detik matematika. Matematika sekolah adalah kreatifitas, termasuk kreatifitas guru dalam menciptakan suasana belajar. Di saat saya semester II, saya dan teman sekelas melakukan observasi pembelajaran ke SD sendang sari bantul. Sekolah ini memanfaatkan kearifan lokal dalam pembelajaran. Saat observasi saya melihat mereka memanfaatkan permainan tradisional yang sering dimainkan anak-anak di sekitar sekolah untuk pembelajaran matematika. Dari sini saya menyimpulkan pembelajaran matematika yang menyenangkan adalah kreatifitas guru.
Dalam belajar siswa memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam belajar. Untuk itu guru diharapkan tidak memakai satu metode saja dalam pembelajaran. Manfaat berbagai metode dengan melihat situasi dan kondisi lingkungan belajar. Penggunaan alat peraga matematika dapat membantu siswa dalam membangun pemahamannya. Alat peraga tidak perlu mahal. Barang-barang bekas dapat digunakan, misalnya tutup botol dapat digunakan untuk mengajar penjumlahan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif. Tutup botol dicat, sebagian diberi warna merah dan sebagian warna kuning. Tutup botol warna merah disepakati untuk bilangan positif dan tutup botol warna kuning disepakati untuk bilangan negatif. Saat alat peraga ini saya gunakan dalam pembelajaran penjumlahan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif, ternyata sangat membantu penalaran siswa. Metode ini lebih mudah diterima siswa dibandingkan menjelaskan dengan sistem hutang yang banyak digunakan untuk menjelaskan penjumlahan bilangan bulat positif dan negatif. Saat saya obsevasi ke SD Sendang Sari saya melihat gurunya memanfaatkan buah melinjo dalam belajar matematika. Buah melinjo disekitar sekolah sangat mudah untuk didapat sehingga guru-guru memanfaatkannya. Sekali lagi saya menyimpulkan bahwa pembelajaran matematika yang menyenangkan adalah kreatifitas guru.
Matematika adalah kegiatan sosial maka dalam pembelajaran matematika siswa harus dilatih bekerjasama. Melalui kerjasama siswa terlatih menghargai pendapat teman, mengkomunikasikan idenya, melatih interaksi sesama siswa. Untuk guru harus menciptakan suasana belajar yang memberi kesempatan pada siswa untuk saling bertukar ide. Pembelajaran kooperatif dalam kelompok kecil dapat menjadi solusi.

Refleksi Peran Penelitian dalam Pengembangan Pendidikan Matematika

Saya setuju dengan pendapat Pak Marsigit bahwa sebagai seorang guru atau calon guru matematika yang inovatif dituntut untuk selalu melakukan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan tentang pembelajaran matematika yang sesuai dengan trend terkini. Pembelajaran matematika seperti juga ilmu lain mengalami perkembangan dan untuk itu penelitian oleh guru dalam rangka mengembangkan pendidikan matematika sudah tentu sangat diperlukan. Hanya saja masalah masih sangat terbatas jumlah guru yang mampu melakukan penelitian. Bercermin pada pengalaman pribadi, saya masih bingung melakukan penelitian. Saya bingung masalah seperti apa sih yang yang layak diteliti? Padahal ketika mengajar saya sering mencoba berbagai pendekatan dalam pembelajaran matematika dan mengamati respon siswa saat pembelajaran berlangsung. Saat pembelajaran kurang efektif saya mencoba mencari solusinya dengan berdiskusi dengan guru lain atau bertanya kepada siswa. Tapi saya belum melakukan penelitian yang menggunakan prosedur tertentu yang bersifat sistematis. Walaupun saya sangat ingin melakukan penelitian untuk mengembangkan pendidikan matematika. Mungkin banyak guru seperti saya yang ingin melakukan penelitian tapi belum mampu melakukannya.
Padahal penelitian tindakan kelas menjadi salah satu solusi bagi guru dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran. Penelitian tindakan kelas diawali dengan permasalahan yang dihadapi guru di kelas saat pembelajaran berlangsung. Penelitian ini tidak mengganggu jalannya pembelajaran di kelas. Kalau ada pepatah sambil menyelam air dan satu kali mendayung dua tiga pulau terlalui, maka istilah yang tepat bagi guru adalah sambil mengajar lakukan penelitian dan sekali bertindak dua kegiatan berlangsung.

Refleksi Indikator Guru Matematika yang Profesional

Menurut saya indikator guru matematika profesional yang ditulis Pak Marsigit tidaklah terlalu susah untuk diterapkan, yang penting adalah kemauan untuk merubah diri menjadi lebih baik. Terbuka menerima masukan, termasuk menerima perubahan paradigma pembelajaran matematika.
Indikator pertama dan kedua tentang guru matematika profesional yang dikemukan Pak Marsigit adalah memanfaatkan dan mengembangkan lingkungan belajar matematika; dan mengembangkan sumber-sumber belajar matematika. Benda-benda yang ada disekitar lingkungan sekolah dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Misalnya pemanfaatan barang bekas untuk media pembelajaran, pemanfaatan buahan-buahan disekitar lingkungan sekolah sebagai sumber belajar sebagai contoh buah jeruk atau buah lain yang berbentuk bola untuk pembelajaran menemukan luas permukaan bola. Orang tua siswa atau orang-orang yang berada di sekitar sekolah dapat diberdayakan sebagai sumber belajar. Misalnya orang tua siswa yang berprofesi sebagai dokter dapat diminta menjelaskan manfaat matematika dalam ilmu kedokteran.
Ruang belajar dapat ditata senyaman mungkin bagi siswa dalam belajar. Saya pernah melakukan observasi di sebuah SD di kota semarang yang cukup terkenal, di SD ini ruang belajar ditata tidak seperti ruang belajar pada umumnya. Siswa dalam satu kelas kelas lebih dari 20 orang tapi meja dan kursi siswa untuk 15 orang, mungkin timbul pertanyaan siswa yang lain duduk dimana? ternyata di sekolah ini siswa belajar tidak hanya di meja tapi sebagian anak belajar dengan lesehan diatas karpet. Di dinding kelas terdapat papan tulis yang di fungsikan untuk menampilkan karya siswa. Saya melihat ruang kelas di SD ini dikondisi senyaman kamar tidur siswa, sehingga siswa merasa di rumah sendiri. Mungkin akan muncul pendapat karena di SD ini siswa membayar mahal uang sekolah sehingga fasilitas lebih baik, bagaimana di sekolah yang siswa membayar murah apa mungkin kita dapat melakukan ini? Pemanfaatan lingkungan belajar dan sumber belajar tidak harus dengan biaya mahal. Halaman sekolah dapat dijadikan ruang belajar matematika, hanya saja harus disesuaikan materi yang akan disampaikan dan metode yang di pilih. Untuk menjadi guru yang profesional menurut saya juga harus kreatif dalam menyikapi keterbatasan yang ada.

Kamis, 08 Januari 2009

Mengapa Matematika dapat Masuk dalam Ranah Kajian Bahasa?

Jujun S. Suriasumantri (2007:190) mengatakan, matematika merupakan bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya, tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Hal senada juga disampaikan oleh Evawati Alisah (2007: 23) matematika adalah sebuah bahasa, ini artinya matematika merupakan sebuah cara mengungkapkan atau menerangkan dengan cara tertentu. Dalam hal ini yang dipakai oleh bahasa matematika ialah dengan menggunakan simbol-simbol.
Menurut Soedjadi (1999) salah satu karakteristik matematika adalah matematika memiliki simbol yang kosong dari arti, hal ini memungkinkan matematika sebagai bahasa. Lebih lanjut Soejadi menjelaskan dalam matematika banyak sekali simbol yang digunakan baik berupa huruf maupun non huruf. Rangkaian simbol-simbol dalam matematika dapat membentuk suatu model matematika. Model matematika dapat berupa persamaan, pertidaksamaan, bangun geometri tertentu, dan sebagainya. Huruf-huruf yang dipergunakan dalam persamaan misalnya x + y = z, x,y, dan z belum tentu bermakna atau berarti bilangan, demikian juga tanda + belum tentu berarti tambah untuk dua bilangan. Makna huruf dan tanda itu tergantung dari permasalahan yang mengakibatkan terbentuknya model itu. Jadi secara umum huruf dan tanda dalam model matematika x +y =z masih kosong tanpa arti, terserah kepada yang akan memanfaatkan model itu. Kosongnya arti simbol maupun tanda dalam model matematika itu justru memungkin “intervensi” matematika ke dalam berbagai pengetahuan. Kosongnya arti itu memungkinkan matematika memasuki medan garapan dari ilmu bahasa (liguistik).

Aspek-aspek dalam Matematika yang Mempunyai Nilai Didik

Beberapa aspek dalam matematika yang mempunyai nilai didik adalah
a. Kesepakatan
Sadar ataupun tidak seseorang yang mempelajari matematika telah menggunakan kesepakatan-kesepakatan tertentu. Kesepakatan-kesepakatan itu terdapat dalam matematika yang rendah maupun yang tinggi. Kesepakatan-kesepakatan itu dapat berupa simbol atau lambang, istilah/konsep , definisi serta aksioma-aksioma.
Sebagai contoh bilangan yang selama ini digunakan , misaInya 1, 2, 3, dan seterusnya adalah lambang yang kita sepakati. Kesepakatan itu secara tidak disadari telah tertanam semenjak seseorang belajar di kelas satu sekoIah dasar atau bahkan taman kanak-kanak. Bilangan yang dilambangkan dengan dengan 2 disepakati disebut “dua” . Mengapa tidak disebut satu ? Itulah contoh kesepakatan yang ternyata selalu digunakan hingga sekarang.
Contoh lain adalah kata “segitiga” adalah istilah yang disepakati untuk menunjuk salah satu konsep dalam matematika. Konsep itu dibatasi oleh suatu ungkapan yang disebut definisi. Misalnya “bangun yang terjadi bila tiga buah titik yang tidak segaris dihubungkan oleh tiga buah ruas garis disebut segitiga. Ungkapan tersebut adalah saah satu definisi dan segitiga (jenis definis ginetik) dikatakan salah satu karenamasih dapat dibuat defenisi segitiga dengan kalimat yang berbeda. Definisi mana yang akan digunakan juga merupakan suatu kesepakatan
Sadar ataupun tidak dalam kehidupan kita sehari-hari terdapat banyak kesepakatan—kesepakatan, baik yang tertulis maupun yang tidak. Apabila seseorang berperilaku tidak sesuai dengan kesepakatan tertentu dalam lingkungan tertentu, tentulah ia dianggap sebagai seorang yang melanggar suatu aturan.
Dengan demikian seseorang yang telah dibiasakan belajar matematika yang penuh dengan kesepakatan yang harus ditaati, kiranya akan mudah memahami perlunya kesepakatan dalam kehidupan masyarakat. inilah salah satu aspek dalam matematika yang memiliki nilai didik (nilai paedagogik).
b. Ketaatasasan
Dalam uraian ini yang dimaksud dengan ketaatasasan atau konsistensi, adalah tidak dibenarkannya uncul kontradiksi. Hal tersebut dalam matematika (terutama yang berasas dikotomi) sangat penting dan harus dipertahankan.
Bila pernyataan “Melalui satu titik P diluar garis a dapat dibuat tepat satu garis sejajar dengan a”, diterimna sebagai pernyataan yang benar, maka pernyataan Jika garis a sejajar garis b dan garis p memotong garis a, maka garis p tidak memotong garis b” harus ditetapkan sebagai pernyataan yang salah. inilah salah satu contoh tentang konsistensi dalam matematika.
Dalam kehidupan bermasyarakat jelas bahwa sikap konsisten diperIukan.Bila tidak kiranya akan mudah terjadi benturan—benturan. Bukankah “ Pancasila dan UUD—45” dapat dipandang sebagai aksiotma yang merupakan kesepakatan nasional? Perlukan warga bangsa indonesia dalam perilakunya konsisten dengan itu? Jelas bahwa sikap konsisten sangat diperlukan dalan bermasyarakat dan berbangsa.
seseorang yang telah terbiasa berpikir rnatematik, tidak terlalu sulit untuk memahami perlunya sikap konsisten dan bahkan tidak sulit melihat inkonsistensi yang terjadi dalarn kehidupan. Sekali lagi terlihat bahwa matematika melalui aspek ketaatasasan atau konsistensi secara implisit maupun eksplisit dapat membantu membentuk tata—nalar serta prihadi siswa.
c. Deduksi
Secara sederhana makna deduksi adalah proses menurunkan atau menerapkan pengertian atau sifat umum kedalam keadaan khusus. dalam matematika pola pikir deduktif itulah yang diterima. Namun dalam pendidikan matematika pola pikir induksi juga dapat diterima sepanjang diperlukan untuk menyesuaian bahan ajar dengan perkembangan intelektual siswa.
Perhatikan dua kalimat di bawah ini.
“Jika suatu segitiga mempunyai tiga sisi sama maka segitiga itu disehut segitiga samasisi”
“Jika suatu segitiga mempunyai tiga buah sudut sama besar maka segitiga itu disebut segitiga samasisi”
kedua kalimat tersebut dapat, dipandang sebagai ungkapan yang membatasi konsep segitiga samasisi. Jadi suatu definisi Kalan dicermati akan terlihat bahwa kedua definisi itu mempunyai intensi yang berbeda tetapi mempunyai ekstensi/jangkauan yang yang sama. Namun dalam matematika tidak dibenarkan keduanya ditetap sebagai definisi dalam satu struktur uraian). Mengapa? Coba pikirkan, jika kalimat pertama yang ditetapkan sebagai definisi segitiga sama sisi; dapatkah kebenaran kalimat kedua dibuktikan dengan menggunakan kalimat pertama?. Dan sebaliknya bagaimana? Jadi salah satu harus ditetapkan sebagai teorema. Itu adalah salah satu bentuk pemikiran deduktif
Pola pikir deduksi dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan. coba amati dan pikirkan jenjang perundang-undangan dalam kehidupan kita. Kita kenal “Undang—undang” , Peraturan pemerintah” , “Keputusan Menteri “, “Keputusan Dirjen”, dsb. Bukankah dalam hal tertentu “yang satu merupakan penjabaran atau aturan pelaksanaan’ dari yang lebih tinggi? Bukankah untuk menyatakan benarnya yang satu harus dirujukkan kepada aturan yang lebih tinggi?. Jadi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegarapun perlu pola pikir deduktif.
d. Semesta
Dalam matematika terdapat simbol-simbo atau lambang yang dikosongkan maknanya. Apakah makna x. y, z itu ?? Terserah kepada sipemakai, akan diberi makna apa. mungkin diberi makna bilangan, mungkin diberi makna vektor, mungkin diberi makna pernyataan,dsb. sesuai dengan kebutuhan pemakai. Hal itu menunjukkan adanya lingkup pembicaraan, yang dapat juga disebut semesta pembicaraan.
Dalam pelajaran matematika disadari atau tidak terdapat banyak contoh atau soal yang sangat memperhatikan semesta. Bila semesta yang ditetapkan tidak diperhatikan sangat besar kemungkinan jawab yang diberikan akan salah.
Sebagai contoh:
Tulislah lambang bilangan asli yang sesuai dalam kotak, sehingga kalimat menjadi benar.
5+2 ´ – = 10 , Kalau tidak disadari semestanya, tidak mustahil akan dijawab 2,5. Benarkah ?
Adakah manfaat pengertian semesta dalam kehidupan?. Tentulah tidak sulit disadari bahwa manusia di bumi ini terkelompok-kelompok menjadi bangsa-bangsa, menjadi suku-bangsa, menjadi satuan organisasi dan sebagainya. Dalam masing-masing kelompok tersebut berlaku suatu aturan tertentu. Seseorang yang akan melakukan tindakan atau melontarkan kata-kata tertentu perlu memperhatikan dimana dia berada, di lingkup mana dia berada. secara umum dapat dikatakan perlu menyesuaikan diri. Bila anda mengendari mobil di Indonesia anda harus berjalan di sebelah kiri jalan. Bagaimana halnya bila anda mengendarai mobil di Amerika Serikat? (disadur dari Soedjadi, 1994: 3-9).
Kalau aspek-aspek yang telah dijelas diatas dapat kita eksplisitkan dalam pembelajaran matematika, maka akan terasa bahwa pembelajaran matematika mempunyai nilai didik. Bukan tidak mungkin ini akan membentuk pribadi siswa di masa datang.
Bahan Bacaan
R. Soedjadi. (1994). Memantapkan Matematika Sekolah sebagai Wahana Pendidikan dan Pembudayaan Penalaran. Makalah yang Disajikan dalam Seminar Sehari Pendidikan matematika Se-provinsi Riau, di FKIP UNRI.

Matematika dan Matematika sekolah

Perbedaan yang mendasar antara matematika sekolah dengan matematika murni adalah pola berpikirnya. Pola pikir matematika murni adalah deduktif. Sifat atau teorema yang ditemukan secara induktif harus kemudian dibuktikan kebenarannya secara deduktif sesuai engan strukturnya. Tidaklah demikian halnya dengan matematika sekiolah. Meskipun siswa pada akhirnya diharapkan mampu berfikir deduktif, namun dalam proses pembelajarannya dapat digunakan pola pikir induktif. Pola pikir induktif yang digunakan dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa.

Alternatif Mengatasi hambatan dalam Pembelajaran dengan Metode Penemuan

Hambatan dalam pembelajaran penemuan adalah kemampuan siswa yang bervariasi. Dengan demikian tingkat kesulitan yang dihadapi siswa bervariasi pula dalam menemukan konsep. Karena kesulitan yang dihadapi siswa beragam, maka untuk mengefektifkan proses perlu adanya kerjasama antar individu siswa dalam kelompok kecil. Dalam kelompok kecil ini siswa berinteraksi secara kooperatif untuk menemukan konsep, prosedur dan prinsip dalam matematika. Selanjutnya berinteraksi dalam kelompok besar, yaitu diskusi antar kelompok.
Pembelajaran dengan metode penemuan effektif bila pertanyaan-pertanyaan dalam lembar Aktifitas siswa disajikan dengan tepat sehingga dapat merangsang berfikir siswa secara optimal. Ini artinya, pertanyaan-pertanyaan dalam Lembar aktivitas siswa harus mendorong siswa untuk melalukan proses penemuan. Efektivitas pembelajaran dengan metode penemuan juga ditentukan oleh bentuk bantuan aktivitas guru. Dalam pembelajaran penemuan pemberian bantuan pada siswa dengan teknik scaffolding. Scaffolding didasarkan atas konsep Vigotsky tentang pembelajaran dengan bantuan (sutji rahmaniah: 2007)

Rumus Cepat, Boleh ngak sih?

Persoalan rumus cepat atau trik bagai pisau bermata dua. Disatu sisi siswa dituntut mengerjakan soal dengan cepat saat UN, SPMB atau tes lainnya. Tapi disisi lain rumus cepat itu membuat siswa menghafal, dan tidak memperhatikan proses. Mungkin dapat disikapi dengan mengambil jalan tengah. Dalam pembelajaran matematika tetap harus mengutamakan proses, bahkan bila perlu siswa di fasilitasi untuk menemukan sendiri trik atau rumus cepat. Dengan demikian rumus cepat atau trik ditemukan sendiri oleh siswa bukan diumumkan oleh guru. jika siswa sukses menemukan sendiri rumus cepat atau trik, hal ini dapat meningkatkan rasa percaya diri pada siswa dan menumbuhkan daya tarik matematika.

Nilai-nilai Moral dalam Pembelajarn Matematika

Pembelajaran matematika dapat membawa nilai-nilai moral. Pembelajaran matematika membentuk moral yang sesuai, seperti tidak ada ruang untuk perasaan yang merugikan, pandangan yang menyimpang, diskriminasi, dan berpikir tak masuk akal. Matematika membantu siswa dalam analisis obyektif, memberikan alasan yang benar, kesimpulan yang valid (sah) dan pertimbangan yang tak berat sebelah. Nilai-nilai moral ini tertanam dalam pikiran siswa karena perulangan dan membantu siswa menjadi anggota masyarakat yang berhasil.

Pembelajaran Matematika dan Pembentukan Karakter

Pembelajaran matematika dapat menolong siswa dalam pembentukan karakternya atau kepribadianya lewat berbagai cara. Pemilihan strategi dalam pembelajaran matematika dapat membentuk membentuk karakter siswa. Pada Pembelajaran kooperatif siswa bekerja dalam kelompok kecil. Pada kegiatan pembelajaran siswa bekerjasama. Siswa yang lebih menguasai materi membantu yang kurang menguasai. Dalam hal ini pembelajaran secara implisit sudah membentuk kepribadian siswa untuk membantu orang lain dan pribadi yang kooperatif. Dalam matematika juga terdapat aspek konsisten. Seseorang yang telah terbiasa berpikir matematik, tidak terlalu sulit untuk memahami perlunya sikap konsisten dan bahkan tidak sulit melihat inkonsistensi yang terjadi dalarn kehidupan.

Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika

Pendidikan matematika di tanah air saat ini sedang mengalami perubahan paradigma. Terdapat kesadaran yang kuat, terutama di kalangan pengambil kebijakan, untuk memperbaharui pendidikan matematika. Tujuannya adalah agar pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa dan dapat memberikan bekal kompetensi yang memadai baik untuk studi lanjut maupun untuk memasuki dunia kerja (Sutarto Hadi: 2008). Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dan orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi (Zamroni, 2000).
Selama ini matematika matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit oleh sebagian besar siswa. Anggapan ini tidak terlepas dari persepsi yang berkembang di masyarakat tentang matematika. Anggapan banyak orang bahwa matematika pelajaran yang sulit tanpa disadari telah mengkooptasi pikiran siswa. Sehingga siswa juga beranggapan demikian, ketika berhadapan dengan matematika. Pandangan bahwa matematika ilmu yang kering, abstrak, teoritis, penuh dengan lambang-lambang dan rumus yang sulit dan membinggungkan. Anggapan ini ikut membentuk persepsi negatif siswa terhadap matematika. Akibatnya pelajaran matematika tidak dipandang secara objektif lagi. Matematika sebagai salah satu ilmu pengetahun kehilangan sifat netralnya (HJ Sriyanto: 2008). Tentu saja anggapan yang berkembang di masyarakat tidak dapat disalahkan begitu saja. Anggapan itu muncul karena pengalaman yang kurang menyenangkan terhadap pembelajaran matematika. Anggapan bahwa matematika pelajaran yang sulit juga diperparah oleh sikap guru ketika pembelajaran berlangsung. Sikap guru yang pemarah, suka mencela, suka menghukum dan kalau mengajar terlalu cepat dan monoton memperparah kondisi ini.
Untuk menghilangkan persepsi pada siswa bahwa matematika sulit, harus dimulai dari diri guru. Pertama guru harus merubah paradigma pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran progresif. Pada paradigma tradisional pembelajaran matematika disekolah cendrung didominasi oleh transfer pengetahuan. Materi yang banyak dan sulit, serta tuntutan untuk menyelesaikan materi pembelajaran telah membuat guru membelajarkan matematika dengan cepat tapi tidak mendalam. Pembelajaran matematika dilakukan dengan pola instruksi, bukan konstruksi dan rekonstruksi pengetahuan. Bahkan tanpa memberi kesempatan pada siswa untuk menentukan sendiri arah mana siswa ingin berekplorasidalam menemukan pengetahuan yang bermakna bagi dirinya.akibatnya pembelajaran matematika di sekolah hanya bersifat hafalan dan bukan melatih pola pikir. Kedua guru harus merubah paradigma tentang matematika. Matematika bukan sekedar alat bagi ilmu yang lain, tapi matematika juga merupakan aktivitas manusia. Hans Freudental berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (mathematics as human activity). Menurutnya siswa tidak bisa di pandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi (passive receivers of ready-made mathematics). Siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali matematika di bawah bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994).
Saya mencoba memberikan alternatif untuk menghilangkan persepsi bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit. Pada tahap membuka pembelajaran dapat diselipkan “yel-yel” yang membuat pembelajaran matematika menjadi asik. Pada saat saya praktek pembelajaran di MIN Yogyakarta I, saya coba mengajak siswa untuk mengucapkan “yel-yel” pada awal kegiatan pembelajaran, yel-yel berbunyi “ matematika, siapa takut” dan “matematika, aku suka”. Selain itu guru dapat memberikan selingan ketika pembelajaran berlangsung. Selingan dalam pembelajaran matematika dapat berupa teka-teki matematika, permainan matematika dan menceritakan kisah-kisah matematika. Misalnya kisah thales yang ketika berda di Mesir, diminta oleh raja untuk menentukan tingginya sebuah piramid. Thales pun menanti suatu saat disiang hari ketika bayangan tubuhnya sama panjang dengan tinggi tubunya sendiri. Kemudian mengukur panjang banyangan piramid yang tentu saja sama panjang dengan tinngi piramid. Masih banyak tehnik lain untuk mengubah persepsi siswa tentang matematika. Karena matematika adalah aktivitas manusia, alangkah baiknya juga dalam pembelajaran matematika guru beraktivitas mempelajari dan mencari metode-metode baru dalam pembelajaran matematika. Sehingga guru tidak monoton pada metode-metode tertentu saja. Dengan kreatifitas guru diharapkan beberapa tahun mendatang matematika bukan lagi menjadi momok bagi siswa tapi justru menjadi pelajaran yang disenangi.